
JAKARTA – Melayani suami sering dianggap sebagai bentuk pengabdian istri yang ideal dalam rumah tangga. Namun, apakah hal itu merupakan kewajiban secara syar’i? Ataukah hanya bagian dari akhlak mulia dan adat semata? Pembahasan ini penting karena menyangkut keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam Islam, serta menjadi pijakan agar rumah tangga dibangun di atas cinta, pengertian, dan kerja sama.
Segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarganya, dan para sahabatnya. Amma ba’du:
Pendahuluan
Hubungan antara suami dan istri dalam Islam dibangun di atas prinsip saling melengkapi, kasih sayang, dan kerja sama. Salah satu bentuk interaksi dalam rumah tangga adalah masalah pelayanan istri kepada suami—baik dalam urusan rumah tangga maupun kebutuhan pribadi. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum seorang istri melayani suami dalam pandangan fikih?
Pertama: Hukum Melayani Suami dalam Pandangan Fikih
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini:
– Mayoritas ulama berpendapat bahwa istri tidak wajib melayani suaminya dalam urusan rumah tangga. [1]
– Namun, sebagian ulama lainnya, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, berpendapat bahwa secara umum istri wajib melayani suami, dan bentuk pelayanan itu dikembalikan kepada adat (‘urf) yang berlaku dalam masyarakat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
ومنهم من قال: تجب الخدمة بالمعروف وهذا هو الصواب؛ فعليها أن تخدمه الخدمة المعروفة من مثلها لمثله، ويتنوع ذلك بتنوع الأحوال؛ فخدمة البدوية ليست كخدمة القروية، وخدمة القوية ليست كخدمة الضعيفة
“Dan di antara mereka ada yang berpendapat: wajib bagi istri untuk melayani suami dengan cara yang ma’ruf (sesuai kebiasaan yang wajar), dan inilah pendapat yang benar; maka istri wajib melayani suaminya dengan pelayanan yang biasa dilakukan oleh wanita sepertinya terhadap laki-laki seperti suaminya, dan hal itu bervariasi sesuai kondisi masing-masing: pelayanan wanita badui (pedalaman) tidak sama dengan pelayanan wanita desa, dan pelayanan wanita yang kuat tidak sama dengan pelayanan wanita yang lemah.”
(Majmu’ al-Fatawa, 34/90-91)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menyatakan:
العقود المطلقة إنما تُنزل على العرف، والعرف خدمة المرأة، وقيامها بمصالح البيت الداخلة، وقولهم: إن خدمة فاطمة وأسماء كانت تبرعا وإحسانا، يرده أن فاطمة كانت تشتكي ما تلقى من الخدمة، فلم يقل لعلي: لا خدمة عليها
“Akad-akad yang bersifat umum dikembalikan kepada ‘urf (adat). Dalam adat, istri biasanya bertugas mengatur rumah tangga. Jika dikatakan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh Fathimah dan Asma’ hanyalah bentuk ihsan (sukarela), maka ini terbantahkan oleh kenyataan bahwa Fathimah mengeluhkan beban pekerjaan tersebut kepada Nabi ﷺ, namun beliau tidak mengatakan bahwa itu bukan kewajibannya.”
(Zad al-Ma’ad, 5/171)
Dari dua pendapat ini, pendapat yang rajih (lebih kuat) —wallahu a’lam— adalah bahwa melayani suami merupakan kewajiban istri secara umum, selama sesuai dengan adat yang berlaku dan tidak menimbulkan mudarat atau beban yang berat.
Kedua: Hubungan Suami Istri Bukan Sekadar Wajib dan Haram
Syariat Islam tidak hanya mengatur hubungan suami-istri dengan hukum “wajib”, “sunah”, dan “haram” saja. Justru ikatan batin dan cinta kasih adalah dasar utama dalam membina rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang…” (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini menunjukkan bahwa rumah tangga dibangun di atas sakinah, mawaddah, dan rahmah, bukan sekadar pada tuntutan formal kontrak pernikahan.
Ketiga: Keteladanan Istri Salihah dalam Melayani Suami
Dalam banyak riwayat, para wanita salaf (istri-istri sahabat Nabi ﷺ) sangat memperhatikan pelayanan kepada suami mereka. Salah satunya adalah hadis berikut:
Dari Al-Hushain bin Mihshan, bahwa bibinya datang kepada Nabi ﷺ untuk suatu keperluan. Setelah selesai dari keperluannya, Nabi ﷺ bertanya kepadanya:
“Apakah engkau seorang wanita yang bersuami?”
Ia menjawab: “Ya.”
Nabi ﷺ bertanya lagi: “Bagaimana sikapmu terhadap suamimu?”
Ia menjawab: “Aku tidak lalai melayaninya kecuali pada hal-hal yang aku tidak mampu lakukan.”
Maka Nabi ﷺ bersabda:
فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Perhatikanlah bagaimana posisimu terhadap suamimu, karena sesungguhnya dia adalah surgamu atau nerakamu.”
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya [31/341], dan dinilai sahih sanadnya oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib [2/412])
Hadis ini menegaskan bahwa ketaatan dan pelayanan kepada suami dalam hal yang ma’ruf adalah salah satu sebab terbesar keselamatan dan kebahagiaan istri di akhirat.
Kesimpulan
- Melayani suami dalam hal yang ma’ruf adalah kewajiban istri, menurut pendapat yang lebih kuat.
- Bentuk pelayanan dikembalikan kepada adat masyarakat setempat, selama tidak bertentangan dengan syariat dan tidak membebani.
- Hubungan suami-istri harus dibangun atas dasar kasih sayang, pengertian, dan kerja sama, bukan sekadar menuntut hak dan kewajiban.
- Suami juga wajib berakhlak mulia, tidak semena-mena, dan ikut andil dalam mengurus rumah tangga.
- Istri yang memuliakan suaminya akan mendapatkan pahala besar dan jalan menuju surga, sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi ﷺ.
Wallāhu a‘lam.
Ditulis oleh: Abu Utsman Surya Huda Aprila
[1] Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (jilid 19 hal 44)