
JAKARTA – Menyambut bulan suci Ramadan, umat Muslim harus mengetahui terlebih dahulu rukun puasa yang bisa menentukan diterima atau tidaknya ibadah kita. Sekurang-kurangnya ada dua rukun dalam berpuasa.
Dua Rukun Puasa yang Harus Kamu Ketahui, Berikut Pemaparannya:
1. Menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar Shadiq sampai terbenamnya matahari.
Perkara-perkara tersebut berupa makanan, minuman dan hal-hal yang bisa membatalkan, semisal jimak, onani dan yang semisalnya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini, ialah firman Allah ta’ala yang berbunyi,
﴿ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ. وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الفَجْرِ، ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ﴾
“Sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kalian. Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam hari.”[1]
Benang putih dan benang hitam yang dimaksud dari ayat di atas, ialah siang dan malam.[2]
Dalam ayat di atas terdapat perintah bagi kaum Muslimin yang menunaikan ibadah puasa untuk menahan dirinya dari lapar, haus serta hal-hal yang bisa membatalkan puasanya sejak terbit fajar Shadiq sampai terbenamnya matahari.
2. Niat
Rukun puasa yang kedua, yaitu niat. Hal inilah yang akan membedakan antara puasa orang-orang beriman dan orang-orang munafik. Niat juga akan membedakan siapa yang “hanya” ikut-ikutan puasa dan siapa yang memang benar-benar berpuasa karena Allah ta’ala. Niat juga akan membedakan mana puasa sunnah dan mana yang puasa wajib.
Dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
“Sesungguhnya semua amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”[3]
Dalam riwayat lain juga disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ.
“Barangsiapa yang belum berniat puasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[4]
Niat adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan. Jika seorang hamba beramal saleh tidak diniatkan untuk Allah, maka amalannya tertolak. Oleh karena itu, perhatikanlah niat kita ketika berpuasa.
Niat tempatnya adalah di dalam hati, bukan di lisan (tidak perlu diucapkan). Imam an-Nawawi rahimahullah pernah mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْم إلا بالنيّة، وَ محلُّها القلب، وَلَا يُشترط النطقُ بلا خلاف.
“Tidaklah sah puasa seseorang melainkan dengan niat. Letaknya niat adalah di dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Dalam masalah ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”[5]
Untuk puasa wajib di bulan Ramadan, maka harus ada niat di malam hari (setelah matahari tenggelam) atau sampai sebelum Subuh. Jika niatnya dilakukan sebelum tenggelamnya matahari (sore hari), maka tidaklah sah puasanya. Begitu pula jika berniat setelah masuk fajar (Subuh), juga tidak sah.[6]
Adapun puasa sunnah, maka ini fleksibel. Hukum berniat di dalamnya lebih ringan. Bisa setelah matahari tenggelam, atau setelah waktu fajar terbit, dengan syarat belum memakan makanan apa pun.
Dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia mengisahkan,
قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ ﷺ ذَاتَ يَومٍ: يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيءٌ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ. قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ. قَالَت: فَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ ﷺ. فَأُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ. قَالَتْ: فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللهِ ﷺ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ اُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ وَقَدْ خَبَأْتُ لَكَ شَيْئًا. قَالَ: مَا هُوَ؟ قُلْتُ: حَيْسٌ. قَالَ: هَاتِيْهِ. فَجِئْتُ بِهِ، فَأَكَلَ. ثُمَّ قَالَ: قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا.
“Pada suatu hari, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menemuiku lalu bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai makanan?’ Aku menjawab, ‘Kita tidak punya makanan apapun.’ Beliau mengatakan, ‘Kalau begitu, aku berpuasa.’ Beliau shallallahu’alaihi wa sallam pun keluar, dan tak lama dari itu, kami diberi hadiah berupa makanan –atau dengan redaksi hadis yang lain; ada seseorang bertamu (lalu memberikan hadiah) kepada kami-, maka ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kembali, aku pun berkata kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, tadi ada orang berkunjung dan memberikan makanan kepada kita, lalu aku simpan makanan itu untukmu.’ Beliau bertanya, ‘Makanan apa itu?’ Aku menjawab, ‘Kue Hais.’[7] Beliau mengatakan, ‘Bawalah kemari kue itu.’ Aku pun bergegas mengambil, lalu kusajikan kue itu untuknya, lalu beliau memakannya seraya bersabda, ‘Sungguh dari tadi pagi aku telah berpuasa.’”[8]
Mengenai hadis di atas, Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Riwayat di atas, adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa diperbolehkan berniat pada siang hari sebelum waktu zawal (matahari tergelincir ke barat) pada puasa sunnah.”[9]
Itulah sekurang-kurangnya dua rukun puasa yang harus kita ketahui dan mengamalkannya, yaitu menahan diri dan niat.
Ditulis Oleh:
Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H
[1]QS. Al-Baqarah: 187.
[2]Al-Fiqh al-Muyassar, hal. 151.
[3]HR. Al-Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907.
[4]HR. Abu Dawud, no. 2454, at-Tirmidzi, no. 730, dan an-Nasa-i, no. 2333. Syekh al-Albani mengatakan, bahwa hadis ini shahiih (Kitab: Irwaa-ul Ghaliil, no. 914).
[5]Raudhah ath-Thaalibiin, hal. 1:502.
[6]Ibid, hal. 1:503.
[7]Hais adalah sejenis kue yang terbuat dari kurma, minyak samin dan keju.
[8]HR. Muslim, no. 1154.
[9]Syarh Shahiih Muslim, hal. 8: 33.